Wednesday, 28 March 2018

Hukum Perjanjian



Hai Guys, setelah lama tidak posting, akhirnya saya akan mulai membuat postingan lagi.
Baik, kali ini saya akan membahas secara sekilas mengenai Hukum Perjanjian.

Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya pasti memiliki berbagai kepentingan yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kepentingannya tersebut manusia akan berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan mengadakan suatu perjanjian. Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst yang berasal dari bahasa Belanda. 

Perjanjian berdasarkan sistem hukum Indonesia diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Perikatan. Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian a quo menimbulkan permasalahan karena dianggap terlalu luas dan tidak lengkap. Terlalu luas karena menggunakan kata "perbuatan", sehingga didalmnya bisa termasuk juga segala perbuatan yang tidak menimbulkan akibat hukum dan perbuatan melawan hukum. Adapun tidak lengkap karena penggunaan kata "satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih" artinya hanya mengenai perjanjian sepihak, padahal perjanjian tidak hanya mengenai perjanjian sepihak tetapi ada juga perjanjian timbal balik.

Atas kelemahan yang ada dalam pengertian Perjanjian menurut KUH Perdata ini, beberapa orang ahli mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian sebagai berikut: 
  1. Menurut Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
  2. menurut Abdulkadir Muhammad Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.
  3. Menurut Van Dune Perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.  
Selain itu, perjanjian dapat juga diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.[1] Berdasarkan pengertian-pengertian perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian timbul karena adanya kata sepakat atau persetujuan para pihak yang kemudian menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban) bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Membuat suatu perjanjian tidak terlepas dari syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut menjadi sah dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang mengadakannya. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut:
  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian)
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal
kedua syarat yang pertama disebut sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sementara kedua syarat yang terakhir disebut sebagai syarat objektif karena mengenai objek perjanjian.


  • Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya berarti bahwa perjanjian lahir dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak yang mengadakannya. Kata sepakat tersebut harus didasarkan pada kebebasan kehendak. Artinya jangan ada kekhilafan, pakasaan atau penipuan dalam pembuatan perjanjian. 
  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian) berarti bahwa para pihak haruslah merupakan orang atau pihak yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu mereka yang sudah dewasa dan tidak ditaruh dibawah pengampuan.
  • Suatu hal tertentu berarti bahwa suatu perjanjian haruslah mengenai suatu objek tertentu (dapat ditentukan).
  • Suatu sebab yang halal berarti bahwa dalam pembuatan suatu perjanjian tidak boleh melanggar Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Lebih lanjut, asas-asas perjanjian disebutkan sebagai berikut:
  1. Asas kebebasan berkontrak
  2. Asas Konsensualisme
  3. Asas Pacta Sun Servanda
  4. Asas Kepribadian
  5. Asas Itikad baik
Kelima asas diatas merupakan pedoman dalam pembuatan suatu perjanjian mulai dari fase prakontraktual hingga post kontraktual.

Permasalahan atau kekeliruan yang seringkali terjadi di dalam masyarakat: 

  1. Dalam kehidupan bermasyarakat seringkali melekat suatu paradigma bahwa suatu perjanjian haruslah tertulis agar perjanjian itu sah. Jika tidak ada "hitam diatas putih, maka perjanjian itu tidak sah". Hal tersebut tentu saja salah kaprah (tidak benar). Perjanjian adalah sah selama memenuhi syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) sebagaimana telah disebutkan di atas, meskipun perjanjian tersebut tidak tertulis (lisan). Hal ini berarti bahwa meskipun perjanjian hanya dibuat secara lisan, selama memnuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat. Namun demikian, ada perjanjian yang harus dibuat secara tertulis karena Undang-Undang memerintahkan demikian, misalnya perjanjian atas pemindahan hak atas saham yang dilakukan dengan akta pemindahan hak (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  2. Bagaimana anak kecil (belum dewasa) yang melakukan perjanjian (transaksi) jual beli, misalnya jual beli roti dengan pedagang? Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu dipahami bahwa anak kecil tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu "kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian)". Hal ini berarti salah satu syarat subjektif dalam syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi sehingga perjanjian menjadi tidak sah. Perlu diperhatikan bahwa akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif adalah perjanjian dapat dibatalkan. Sementara jika yang tidak terpenuhi adalah syarat objektif, maka perjanjian batal demi hukum. Dengan demikian maka perjanjian yang dibuat anak kecil tersebut adalah tidak sah dan dapat dibatalkan. Artinya meskipun perjanjian tersebut tidak sah, selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak tersebut.
  3. Tidak ada materai perjanjian tidak Sah!!! Seringkali dalam suatu perjanjian yang dibuat tertulis dianggap tidak sah karena tidak tertera materai. Hal tersebut tentu salah. Kembali lagi bahwa syarat sahnya perjanjian adalah pasal 1320 KUH Perdata. Selama sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian adalah sah. Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa fungsinya materai?Mengapa harus pakai materai? Harus dipahami bahwa materai tidak termasuk dalam syarat sahnya perjanjian (titik). Adanya materai ini berfungsi sebagai bukti di pengadilan jika di kemudian hari terjadi sengketa atas perjanjian yang diadakan tersebut.


Sekian sedikit pengetahuan mengenai hukum perjanjian yang saya bagikan, memang tidak lengkap, oleh karena itu jika ada yang ingin ditanyakan seputar hukum perjanjian bisa anda tanyakan melalui kolom komentar di bawah. Terimakasih






------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Catatan materi perkuliahan hukum perikatan dan perjanjian milik penulis.