Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), diperlukan adanya unsur pengawasan. Pengawasan menurut George R Terry adalah salah satu fungsi dasar manajemen yaitu pengamatan agar tugas- tugas yang telah direncanakan dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan rencana, dan apabila terdapat penyimpangan diadakan tindakan- tindakan perbaikan. Akan tetapi mengenai pengertian pengawasan ini masih menimbulkan perbedaan penafsiran oleh para ahli. Hal ini terjadi karena ada yang memiliki pendapat bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah tindakan untuk mencocokkan hasil akhir dengan rencana. Artinya dalam pengawasan tidak diadakan tindakan- tindakan perbaikan jika terjadi penyimpangan yang mana hal ini berbanding terbalik dengan pendapat George R Terry seperti tertulis di atas. Oleh sebab itu, tidak sedikit ahli yang berpendapat bahwa istilah yang tepat seharusnya bukanlah pengawasan, tetapi pengendalian, sebab pengendalian tidak hanya mencocokkan hasil akhir dengan rencana, tetapi juga meliputi tindakan perbaikan jika terjadi penyimpangan. Meskipun demikian, harus dipahami bahwa pengawasan yang dimaksud dalam tulisan ini meliputi juga tindakan perbaikan.
Pengawasan merupakan salah satu unsur penting yang harus dilaksanakan dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan karena dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, masih terdapat pejabat pemerintahan atau pejabat tata usaha negara yang dalam menjalankan tugasnya melakukan perbuatan "tercela" yang melawan hukum sehingga menyebabkan kerugian dan keresahan bagi individu maupun masyarakat. Dengan demikian, maka dengan adanya pengawasan diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan perbuatan pejabat pemerintah yang merugikan individu atau masyarakat serta mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali perbuatan- perbuatan yang merugikan tersebut.
Pada dasarnya pengawasan yang mutlak harus dilakukan adalah pengawasan administratif (pengawasan melekat). Pengawasan ini dilakukan oleh pimpinan yang melakukan pengawasan langsung terhadap anak buah- anak buahnya, sehingga tidak diperlukan anggaran khusus (tidak perlu biaya) dan bersifat tepat, karena atasan (pimpinan) dianggap memahami akan objek yang diawasinya (anak buah). JIka pengawasan melekat dapat berjalan dengan baik dan efektif, maka tidak diperlukan pengawasan yang lainnya. Akan tetapi, karena pengawasan melekat belum bisa berjalan dengan baik dan efektif, maka diadakanlah bentuk- bentuk pengawasan yang lainnya, salah satunya adalah pengawasan politis. Pengawasan politis adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga- lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/ Kota. Dari pengertian pengawasan politis tersebut, sudah jelas bahwa yang menjadi subjek (pengawas) dalam pengawasan politis adalah lembaga- lembaga politis baik DPR, DPD, maupun DPRD.
Dalam rangka menjalankan tugasnya dan fungsinya khususnya dalam bidang pengawasan, DPR dibekali tiga hak sebagaimana termuat dalam pasal 20 A ayat 2 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1. Hak Interpelasi
Hak interpelasi yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1] Hak interpelasi ini digunakan DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah ketika ada kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang. Kemudian pemerintah akan memberikan jawaban atas diajukannya hak interpelasi tersebut.
2. Hak Angket
Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang- undang/ kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.[2]
3. Hak Menyatakan Pendapat
Hak Menyatakan Pendapat yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; mengenai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/ atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[3]
Jika ditinjau lebih lanjut, bahwa penggunaan ketiga hak yang dimiliki DPR tersebut, baik hak interpelasi, hak angket, maupun hak menyatakan pendapat merupakan mekanisme sekaligus implementasi dari fungsi DPR dalam rangka melakukan pengawasan terhadap pemerintah/ presiden. Akan tetapi, fungsi pengawasan DPR tidak terbatas pada pelaksanaan ketiga hak itu saja. Pengawasan oleh DPR dapat diwujudkan melalui rapat dengar pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya, misalnya rapat dengar pendapat antara Menkominfo dengan Komisi I DPR-RI terkait rencana kebijakan pemerintah di bidang penyiaran. Kemudian pengawasan oleh DPR dapat juga dilakukan dengan membentuk panitia khusus (pansus), seperti pansus yang dibentuk oleh komisi III DPR_RI untuk mengawasi proses pengusutan kasus korupsi PT Pelindo II agar tidak ada intervensi- intervensi dari kekuatan manapun.
Selanjutnya mengenai pengawasan yang dilakukan oleh DPD. Pada dasarnya DPD memiliki peran yang hampir sama dengan DPR yaitu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang- Undang, namun yang membedakan adalah bahwa DPD dalam melaksanakan pengawasan terbatas pada hal- hal mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama yang kemudian hasil pengawasannya tersebut disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana hal ini termuat dalam pasal 22 D ayat 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, atas kewenangannya tersebut, ketika diketahui bahwa tindakan pejabat pemerintah dalam melaksanakan Undang- Undang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku atau dengan melawan hukum, maka DPD dapat melaporkan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.
Sementara DPRD, baik itu DPRD provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota. Misalnya dalam hal pembangunan di daerah, DPRD dapat mengawasi apakah pembangunan yang dilakukan sudah sesuai dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Perundang- Undangan lainnya atau APBD. Hal ini sangat penting mengingat sering terjadinya perbuatan- perbuatan melawan hukum atau penyimpangan- penyimpangan dalam suatu proyek pembangunan yang dilakukan pejabat pemerintah seperti korupsi, sehingga dengan adanya pengawasan ini diharapkan segala bentuk perbuatan melawan hukum maupun penyimpangan dapat dicegah dan dihilangkan.
Dilihat dari tugas dan fungsi lembaga- lembaga politik dalam melakukan pengawasan politis, dapat disimpulkan bahwa objek pengawasan oleh lembaga- lembaga politik baik DPR, DPD, maupun DPRD adalah tindakan pemerintah (pejabat pemerintah) yang melaksanakan perintah Undang- Undang sesuai dengan lingkup kewenangannya. Artinya DPR dan DPD dapat mengawasi tindakan pejabat pemerintah di tingkat pusat, sementara DPRD hanya di tingkat daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota.
Agar pengawasan politis ini dapat berjalan dengan efektif, harus dibarengi dengan kamampuan yang memadai baik oleh anggota DPR, DPD, maupun DPRD untuk melakukan pengawasan. Sebab jika mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan dengan baik, yang bisa disebabkan oleh lemahnya mental untuk mengawasi dan perasaan enggan atau segan untuk mengawasi karena ada rasa pekewuh (tidak sampai hati) atau karena faktor keluarga, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik pula dan praktek- praktek "busuk" seperti korupsi bisa terus terjadi bahkan tidak hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan pemerintahan, tetapi juga oleh pengawas itu sendiri.
[1] A. Ali Mashduqi,"Sistem Pengawasan Melekat, Pengawasan Fungsional dan Pengawasan Politis", diakses dari http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/21143-sistem-pengawasan-melekat,-pengawasan-fungsional-dan-pengawasan-politis, pada tanggal 29 Oktober 2015 pukul 21.41 WIB.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
No comments:
Post a Comment