Monday 16 February 2015

Memahami Tentang Kebiasaan dan Hukum Kebiasaan



Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum yang mana merupakan sumber hukum tidak tertulis. Kebiasaan dapat diartikan sebagai tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap dalam masyarakat. Yang dimaksud perilaku tetap adalah perilaku yang diulang sehingga punya kekuatan normatif. Perilaku yang diulang ini dilakukan oleh banyak orang dan mengikat orang lain untuk melakukan hal yang sama karena timbul keyakinan bahwa hal itu patut dilakukan (die normative Kraft des Faktischen). Sehingga yang menjadi tolak ukur tingkah laku itu kebiasaan adalah kepatutan, bukan terulangnya tingkah laku. Patut tidaknya suatu tingkah laku bukan berdasarkan pendapat pribadi, tetapi pendapat masyarakat.

Kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum dapat digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam membuat putusan. Perlu diingat bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Maka disini hakim tidak tidak terikat pada undang- undang sehingga kebiasaan mempunyai peranan yang penting sebagai sumber hukum. Adapun kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan apabila dirumuskan sebagai peraturan hukum dalam putusan. 

Selain dengan cara dirumuskan sebagai peraturan hukum dalam putusan, kebiasaan dapat pula menjadi hukum kebiasaan sebelum dikonstatir oleh hakim apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. Syarat materiil. Yaitu adanya perilaku yang tetap dan diulang. Maksudnya adalah adanya suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung lama (longa et inveterata consuetudo)
  2. Syarat intelektual. Yaitu kebiasaan harus menimbulkan keyakinan umum (opinio necessitatis) bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum.
  3. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.

Hukum kebiasaan tidak lepas dari adanya kelemahan- kelemahan. Kelemahan- kelemahan tersebut yaitu bahwa hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis sehingga tidak dirumuskan secara jelas dan sukar menggalinya. Selain itu karena bersifat beraneka ragam, maka hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum.



Friday 13 February 2015

Memahami Tentang Undang- Undang



Secara sederhana, dalam kehidupan sehari- hari undang- undang dapat diartikan sebagai kumpulan peraturan yang mengikat masyarakat yang dibuat oleh lembaga legislatif. Kemudian kalau kita lihat, dalam arti materiil undang- undang dapat diartikan sebagai keputusan penguasa yang dilihat dari isinya disebut undang- undang, isinya memuat peraturan yang mengikat umum. Sedangkan dalam arti formil undang- undang diartikan sebagai keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang- undang.

Undang- undang yang berisi berbagai peraturan yang mengikat secara umum sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang- undang mengatur bagaimana seharusnya manusia berbuat dan apa yang harus dan dilarang untuk dilakukan. Undang- undang adalah hukum, dengan adanya undang- undang diharapkan mampu melindungi berbagai kepentingan manusia, sehingga undang- undang harus diketahui oleh umum. 

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika seseorang mengatakan bahwa dia tidak tau bahwa apa yang ia lakukan diancam hukuman dalam undang- undang. Misalnya seseorang mencuri sepeda milik temannya dan kemudian ia membela diri dengan mengatakan bahwa dia tidak tahu bahwa mencuri sepeda itu dilarang dan diancam dengan hukuman dalam undang- undang. Jawabannya adalah " iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur" yaitu bahwa setiap orang dianggap tahu akan undang- undang, dan juga "ignorantia legis excusat neminem" yaitu bahwa ketidaktahuan akan undang- undang bukan menjadi alasan pemaaf. Jadi dalam contoh ini, pencuri sepeda tersebut harus dihukum.

Undang- undang tertidri dari tiga bagian, yaitu:
  1. Konsideran (pertimbangan). Bagian ini berisi pertimbangan- pertimbangan mengapa undang- undang ini dibuat. Pada umumnya diawali dengan kata "menimbang", "mengingat".
  2. Diktum (amar). Bagian ini berisi pasal- pasal.
  3. Ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan berfungsi untuk mengisi kekosongan dalam hukum, yaitu dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan sekarang. Jika terjadi suatu peristiwa dimana dalam undang- undang yang baru tidak mengaturnya sedangkan dalam undang- undang yang lama mengaturnya, maka ketentuan peralihan yang akan menghubungkan peristiwa yang baru terjadi dengan undang- undang yang lama sehingga undang- undang yang lama dapat berlaku. Lazimnya dalam ketentuan peralihan berbunyi "apabila tidak ada ketentuannya, maka berlakulah peraturan yang lama".