Wednesday, 12 September 2018

Pengecualian Asas Kepribadian (Berlakunya Perjanjian Terhadap Pihak Ketiga)



Sebagaimana telah dijelaskan pada postingan sebelumnya mengenai asas-asas hukum perjanjian, bahwa terdapat pengecualian terhadap asas kepribadian, maka hal tersebut akan dibahas dalam postingan ini. Asas Kepribadian diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang pada intinya menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Beberapa Pasal dalam KUHPerdata yang memungkinkan terikatnya pihak ketiga terhadap suatu perjanjian yang tidak dibuatnya penulis kutip dari buku yang ditulis oleh Herlien Budiono dengan judul Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,[1] diuraikan sebagai berikut:

a) Pasal 1300 butir 4 KUHPerdata
Pasal 1300 butir 4 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam hal pewarisan merupakan debitur dalam suatu perjanjian kredit, maka sekaligus dalam penetapan waris dapat diperjanjikan bahwa hanya seorang ahli waris yang akan menanggung utang pewaris atau seorang ahli waris akan menanggung utang pewaris dalam proporsi yang lebih besar dibanding ahli waris yang lain. Dengan cara itu, pewaris membebankan kepada pihak ketiga (salah seorang ahli waris) suatu kewajiban yang berada di luar perjanjian kredit.

b) Pasal 1614 KUHPerdata
Pasal 1614 KUHPerdata menyebutkan bahwa tukang batu, tukang kayu, tukang besi, dan lain-lain tukang yang telah dipakai untuk mendirikan gedung atau membuat suatu pekerjaan lain yang diborongkan, tidak mempunyai tuntutan terhadap orang untuk siapa pekerjaan itu telah dibuatnya, selain untuk sejumlah yang orang ini berutang kepada pemborong pada saat mereka memajukan tuntutannnya.

c) Pasal 1651 ayat (1) KUHPerdata
Pasal 1651 ayat (1) KUHPerdata memungkinkan untuk menjanjikan pada waktu pendirian persekutuan perdata (maatschap) jika seorang persero meninggal dunia, perseroan tersebut akan diteruskan oleh para ahli waris dari persero yang meninggal dunia tersebut.

d) Pasal 1803 ayat (3) KUHPerdata
Pasal 1803 ayat (3) KUHPerdata memberikan hak kepada pemberi kuasa untuk langsung menuntut orang yang ditunjuk oleh si kuasa sebagai penggantinya, yaitu untuk meminta pertanggungjawabannya sebagai kuasa. Penerima kuasa pengganti tersebut berada di luar pemberian kuasa yag dilakukan oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa.

Selain keempat Pasal yang telah disebutkan diatas, penulis akan membahas dua Pasal lagi yang beraitan erat dengan pengecualian asas kepribadian, yaitu Pasal 1317 KUHPerdata dan Pasal 1318 KUHPerdata yang penjelasannya adalah sebagai berikut:

a) Pasal 1317 KUHPerdata
Pasal 1317 KUHPerdata tediri dari dua ayat dan dikenal sebagai pasal yang memungkinkan dilaksanakannya janji guna kepentingan pihak ketiga (Derdenbeding). Pasal 1317 ayat (1) menyatakan bahwa lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Pasal 1317 ayat (2) menyatakan bahwa Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. Adalah tidak bertentangan dengan kepentingan umum ataupun kesusilaan apabila seseorang telah menjanjikan untuk memberikan suatu hak atau memberikan keuntungan kepada orang lain dan hak atau keuntungan itu baru mempunyai akibat hukum bagi penerima hak setelah ia menyatakan menerimanya.[2] Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1340 ayat (2) yang bunyinya "suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317".

Pihak yang memberikan janji guna kepentingan pihak ketiga disebut stipulator, sedangkan pihakyang berjanji untuk melakukan prestasi guna pihak ketiga disebut promissor atau promittens.[3] Contoh dari penerapan Pasal 1317 KUHPerdata adalah perjanjian asuransi, Misalnya: A mengadakan perjanianjian dengan Perusahaan Asuransi Kesehatan (B) untuk kepentingan anak dari A.

b) Pasal 1318 KUHPerdata
Pasal 1318 KUHPerdata bunyinya "Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu untuk ahli waris-ahliwarisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya". Berdasarkan Pasal a quo, maka muncul suatu pemikiran mengenai beralihnya hak dan kewajiban karena titel umum dan beralihnya hak dan kewajiban karena titel khusus.

Beralihnya hak dan kewajiban karena titel umum berkaitan dengan ahli waris. Para ahli waris meneruskan hak dan kewajiban pewaris yang diperolehnya berdasarkan hak waris dan bukan karena pewaris telah menjanjikan untuk para ahli warisnya.[4] Menurut penjelasan pembuat undang-undang BW, maksud dari pasal ini adalah untuk menegaskan bahwa perjanjian tersebut akan mempunyai sumber yang sama dan akan tetap sama peikatannya, seperti yang terdahulu sebelum beralih kepada ahli warisnya.[5]. 

Mengenai beralihnya hak dan kewajiban karena titel khusus lebih mudah dipahami dengan memberikan contoh sebagai berikut: A ingin menjual mobilnya dengan memberikan fasilitas gratis service di bengkelnya selama 5 tahun. B tertarik membeli mobil A dan akhinya dibuat perjanjian jual beli atas mobil tersebut antara A dan B. Baru 2 tahun dipakai, B berniat menjual mobilnya kepada C. C akhirnya membeli mobil tersebut dari B. Meskipun saat ini mobil sudah berpindah menjadi milik C, namun C masih berhak mendapatkan  service gratis di bengkel A selama 3 tahun. Berdasarkan contoh tersebut maka dapat dilihat bahwa tidak ada perjanjian antara A dan C, tetapi C masih bisa mendapatkan fasilitas service gratis di bengkel A. Hal ini juga berkaitan dengan sifat hak kebendaan yaitu droit de suite, sehingga dapat dipertahankan terhadap siapapun dan dimanapun benda tersebut berada. 







------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Herlien Budiono, 2014, Ajaran Hukum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 152-153.
[2] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 95.
[3] Ibid.
[4] Ibid hlm. 90.
[5] Ibid.

No comments:

Post a Comment