Monday, 8 October 2018

Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatige daad)




Setelah dalam postingan terdahulu penulis telah  membahas mengenai wanprestasi (baca: wanprestasi), pada postingan kali ini penulis akan membahas mengenai perbuatan melawan hukum (dalam bahasa Belanda onrechmatige daad). 

Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang sekaligus menjadi dasar bagi suatu pihak (seseorang) untuk menggugat pihak lain yang melakukan perbuatan melawan hukum. Pasal a quo berbunyi sebagai berikut: 
            "tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut"

Berbicara mengenai perbuatan melawan hukum, harus bisa dibedakan dengan wanprestasi, sebab pada dasarnya wanprestasi jika ditinjau secara luas juga merupakan suatu perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan hukum. Untuk bisa membedakan suatu perbuatan apakah termasuk wanprestasi atau perbuatan melawan hukum sebenarnya cukup dengan melihat apakah orang tersebut melanggar suatu kewajiban yang timbul dari perjanjian atau bukan. Jika perbuatan yang dilakukan ternyata melanggar kewajiban yang timbul dari perjanjian maka perbuatan tersebut termasuk wanprestasi, tetapi jika tidak, bisa dikatan perbuatan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum. Singkatnya wanprestasi terjadi jika terikat dalam suatu hubungan kontraktual, sementara perbuatan melawan hukum terjadi di luar hubungan kontraktual.  

KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perbuatan melawan hukum, akan tetapi di luar itu ada beberapa definisi yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum sebagaimana hal ini dikutip oleh Munir Fuady dari apa yang diungkapkan oleh Keeton, sebagai berikut:[1]
  1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
  2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, di mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan.
  3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum , kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
  4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
  5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
  6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
  7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak, seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika.
Pada zaman dahulu, lebih tepatnya sebelum tahun 1919, pengadilan menafsirkan "melawan hukum" sebagai hanya pelanggaran dari pasal-pasal hukum tertulis semata-mata (pelanggaran perundang-undangan yang berlaku), tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan "melawan hukum" bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melainkan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat.[2] Sejak tahun 1919 tersebut, di negeri Belanda, dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut:

  1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
  2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
  3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
  4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka berdasarkan Pasal a quo, akan diuraikan unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum sebagai berikut:

1) Adanya suatu perbuatan 
Perbuatan melawan hukum diawali dari adanya suatu perbuatan. Perbuatan ini diartikan baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif).

2) Perbuatan tersebut melawan hukum
Unsur melawan hukum dalam perbuatan melawan hukum ini harus diartikan secara luas, tidak terbatas pada perbuatan melanggar undang-undang yang berlaku, tetapi juga perbuatan-perbuatan sebagaimana telah disebutkan diatas.

3) Adanya kesalahan dari pihak pelaku
Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum tersebut, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut.[3] Karena Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur "kesalahan" (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimanakah cakupan dari unsur kesalahan tersebut.[4] Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[5]

a) Ada unsur kesengajaan, atau
b) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4) Adanya kerugian bagi korban
Dalam hal perbuatan melawan hukum, tidak hanya dikenal dengan adanya kerugian materiil, tetapi juga keerugian immateriil.

5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Hubungan kausal dalam hal ini berarti bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar-benar menyebabkan adanya kerugian bagi pihak lain ("pihak korban").











Thursday, 13 September 2018

Wanprestasi



Pada Postingan kali ini, penulis akan membahas mengenai wanprestasi. Tidak akan dibahas secara lengkap dan mendetail, tetapi penulis harapakan tulisan ini bisa memberikan pemahaman dan manfaat kepada pembaca.

a) Pengertian Wanprestasi 
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu wanprestatie yang berarti prestasi buruk. Di Indonesia sendiri, wanprestasi sering disamakan dengan cidera janji atau ingkar janji. Mengenai pengertian wanprestasi sendiri beberapa sarjana memberikan pendapatnya sebagai berikut:

  1. Menurut Subekti, wanprestasi adalah ketika debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya.[1]
  2. Menurut M.Yahya harahap, wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak selayaknya.[2]
  3. Menurut I Ketut Oka Setiawan, wanprestasi adalah ketika debitur tidak mematuhi apa yang menjadi kewajibannya.[3]
Terkait wanprestasi ini, J.Satrio memiliki pendapat yang tentu berbeda dengan ketiga orang diatas atau lebih tepatnya bahwa ia membuat suatu kesimpulan. J.Satrio menyatakan bahwa mengenai perumusan wanprestasi itu sendiri, sekalipun ada perbedaan dalam cara merumuskannya, pada umumnya (secara garis besar) para sarjana merumuskan wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.[4]

b) Bentuk Wanprestasi
Bentuk-bentuk wanprestasi sebagaimana diungkapkan oleh Subekti ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:[5]
  1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
  3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
  4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.
c) Faktor-Faktor Penyebab Wanprestasi
Tidak dipenuhinya atau dilaksanakannnya prestasi oleh debitur tidak terjadi dengan sendirinya, tetap ada faktor yang menjadi penyebabnya. Abdulkadir Muhammad membagi faktor penyebab wanprestasi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:[6]

(1) Faktor dari luar
Faktor dari luar adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan pada saat perjanjian dibuat tidak dapat diduga akan terjadi.

(2) Faktor dari dalam
Penyebab wanprestasi adalah kesalahan, baik disengaja maupun karena kelalaian. Kesalahan mempunyai dua pengertian, yaitu kesalahan dalam arti sempit dan kesalahan dalam arti luas. Kesalahan dalam arti sempit hanya mencakup kelalaian saja, sedangkan kesalahan dalam arti luas meliputi kesengajaan dan kelalaian. 

Kesengajaan adalah perbuatan yang tetap dilakukan walaupun diketahui dan memang dikehendaki oleh si pembuat kesalahan tersebut. Seseorang yang melakukan kesengajaan mengetahui akan kemungkinan akibat yang akan terjadi yang merugikan orang lain tetapi si pembuat kesalahan tetap melakukan perbuatan tersebut, sedangkan kelalaian telah dijelaskan dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demu perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

d) Akibat Hukum Wanprestasi
Atas terjadinya suatu wanprestasi tentu menimbulkan adanya akibat hukum. Yahya Harahap menyatakan akibat hukum dari wanprestasi adalah timbulnya keharusan atau kemestian bagi debitur untuk membayar ganti rugi atau dengan adanya wanprestasi oleh debitur, maka kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.[7] R. Soeroso mengungkapkan mengenai akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:[8]
  1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata.
  2. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata.
  3. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi seperti yang telah diatur dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata. Ketentuan ini berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
  4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim. Hal ini diatur dalam Pasal 181 ayat (1) HIR. Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara.
  5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian. Hal ini diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata.




------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Subekti, 1979, HukumPerjanjian, Intermasa, Bandung, hlm. 45.
[2] M.Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 60.
[3] I Ketut Oka Setiawan, 2015, Hukum Perikatan, SinarGrafika, Jakarta, hlm. 19.
[4] J.Satrio, 2014, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, Dan Yurisprudensi Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3.
[5] Subekti, Loc. cit.
[6] Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 12.
[7] M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 60.
[8] R. Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan, SinarGrafika, Jakarta, hlm. 28.

Macam dan Cara Berakhirnya Perjanjian Pemberian Kuasa



Setelah  pada postingan sebelumnya dibahas mengenai pengertian dan unsur-unsur perjanjian pemberian kuasa, pada postingan kali ini akan dibahas mengenai macam dan cara berakhirnya perjanjian pemberian kuasa.

Terdapat beberapa macam pemberian kuasa yang umum dikenal dalam masyarakat. Penulis mengelompokkan macam-macam pemberian kuasa tersebut, yaitu:

a) Berdasarkan sifat perjanjiannya 
Macam pemberian kuasa berdasarkan sifat perjanjiannya dapat dibagi menjadi dua dan dapat dilihat dalam Pasal 1795 KUHPerdata, sebagai berikut:
  1. Pemberian kuasa khusus, yaitu pemberian kuasa mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih.
  2. Pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.
b) Berdasarkan cara pemberian kuasa itu diberikan
Macam pemberian kuasa berdasarkan cara pemberian kuasa itu diberikan dapat dibagi menjadi lima dan dapat dilihat dalam Pasal 1793 ayat (1) dan (2) KUHPerdata, sebagai berikut:
  1. Akta umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris.
  2. Suatu tulisan di bawah tangan, yaitu pemberian kuasa yang diberikan dengan suatu surat di bawah tangan yang hanya dibuat oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa.
  3. Sepucuk surat
  4. Lisan, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, melalui lisan (ucapan-ucapan) yang saling dimengerti.
  5. Diam-diam, yaitu pemberian kuasa secara diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh penerima kuasa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1794 KUHPerdata, pemberian kuasa pada dasarnya terjadi dengan cuma-cuma, kecuali diperjanjikan sebaliknya. Ketika pemberian kuasa ini terjadi dengan cuma-cuma, maka perjanjian pemberian kuasa ini dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian sepihak dimana hanya ada satu pihak saja yang berprestasi, yaitu penerima kuasa. Sementara itu, jika perjanjian pemberian kuasa ini didalamnya dijanjikan atau diberikan upah kepada penerima kuasa, maka perjanjian pemberian kuasa ini dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian timbal balik.

Di atas telah diuraikan mengenai macam-macam perjanjian pemberian kuasa, selanjutnya akan penulis bahas mengenai cara berakhirnya perjanjian pemberian kuasa. Ketentuan mengenai berakhinya pemberian kuasa dapat ditemukan mulai dari Pasal 1813 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Dalam Pasal 1813 KUHPerdata disebutkan mengenai cara-cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu sebagai berikut:
  1. Dengan ditariknya kembali kuasa si kuasa.
  2. Dengan pemberitahuan pengehentian kuasanya oleh si kuasa.
  3. Salah satu pihak meninggal dunia.
  4. Salah satu pihak berada di bawah pengampuan.
  5. Salah satu pihak berada dalam keadaan pailit.
  6. Dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
Dari keenam cara berakhirnya pemberian kuasa, penulis akan sedikit membahas mengenai berakhirnya kuasa karena salah satu pihak meninggal dunia.Dalam hal penerima kuasa tidak sadar akan meninggalnya pemberi kuasa, maka apa yang diperbuatnya di dalam ketidaksadaran tersebut adalah sah. Dalam hal itu segala perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa harus dipenuhi terhadap pihak ketiga yang beritikad baik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1818 ayat (1) dan (2) KUHPerdata. Disisi lain ketika penerima kuasa meninggal dunia, maka ahli warisnya harus memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa, jika mereka tahu mengenai adanya pemberian kuasa, dan sementara itu mengambil tindakan-tindakan yang perlu menurut keadaan bagi kepentingan pemberi kuasa, atas ancaman mengganti biaya, kerugian, dan bunga, jika ada alasan untuk itu.

Ada satu hal yang menarik untuk dicermati terkait dengan ketentuan meninggalnya pemberi kuasa, yaitu bahwa penerima kuasa wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu kerugian (diatur daam Pasal 1800 ayat (1) KUHPerdata). Berdasarkan ketentuan tersebut, penulis mengartikannya bahwa ketika seorang penerima kuasa sedang atau telah mulai menjalankan atau mengerjakan kuasanya dan ketika itu juga pemberi kuasa meninggal dunia, maka penerima kuasa wajib menyelesaikan kuasanya. Berbeda halnya ketika penerima kuasa belum mulai menjalankan kuasanya, namun pemberi kuasa meninggal dunia, maka kuasa yang ada pada penerima kuasa menjadi berakhir. 



Demikian secara singkat penjelasan mengenai macam dan cara berakhirnya perjanjian pemberian kuasa. Semoga bermanfaat.......




Wednesday, 12 September 2018

Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian Pemberian Kuasa



Dalam postingan kali ini, penulis membahas mengenai perjanjian pemberian kuasa. Perjanjian ini umum terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Penulis tidak akan membahas secara mendetail mengenai perjanjian ini, tetapi hanya sebatas pada pengertian dan unsur-unsurnya saja. Semoga apa yang penulis tulis dibawah ini bisa memberikan gambaran kepada pembaca mengenai perjanjian pemberian kuasa.

Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792-1819 KUHPerdata. Pengertian pemberian kuasa menurut Pasal 1792 adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Adapun yang dimaksud dengan menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan "suatu perbuatan hukum", yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau "menelorkan" suatu "akibat hukum".[1] Djaja S. Meliala menyatakan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan/perjanjian yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, disamping kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang telah maju (modern) sehingga tindakan memberi/menerima kuasa, perlu dilakukan untuk menyelesaikan salah satu atau beberapa masalah tertentu.[2] Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pemberian kuasa biasanya dilakukan untuk mengatasi kesibukan yang dihadapi seseorang sehingga ia tidak mampu menyelesaikan urusan-urusannya sendiri, oleh karena itu ia memerlukan jasa orang lain untuk menyelesaikan urusan-urusan itu.

Berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata dapat diketahui bahwa unsur-unsur pemberian kuasa adalah sebagai berikut:

a) Perjanjian
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa pemberian kuasa merupakan perjanjian. Dengan demikian, untuk pemberian kuasa pertama-tama harus dipenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian.[3] Hal ini penting untuk melihat apakah kita sedang berhadapan dengan sebuah perjanjian atau bukan. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian berdasarkan ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Oleh karena itu, lebih tepat jika perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan akibat hukum.

Sebagai suatu perjanjian, maka harus pula dipenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

(1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian)
(3) Suatu hal tertentu
(4) Suatu sebab yang halal

b) Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa
Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa menunjukkan bahwa adanya dua pihak dalam perjanjian ini, yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa. Sebagai pihak dalam perjanjian, maka baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa memiliki kewajiban-kewajiban. Kewajiban-kewajiban pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 sampai Pasal 1812 KUHPerdata. Sementara kewajiban-kewajiban penerima kuasa diatur dalam Pasal 1800 sampai Pasal 1806 KUHPerdata.

c) Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan
Unsur ketiga ini maksudnya adalah bahwa penerima kuasa melakukan sesuatu perbuatan hukum demi kepentingan dan untuk atas nama pemberi kuasa. Adapun perbuatan hukum menurut Subekti yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau "menelorkan" suatu "akibat hukum".[5] Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa.[5] Ia hanya dapat melakukan tindakan hukum yang terbatas pada kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa. Segala tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa dalam rangka menyelenggarakan urusan yang diperintahkan oleh pemberi kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Dengan kata lain bahwa yang dilakukan penerima kuasa merupakan atas tanggungan pemberi kuasa sehingga segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya tersebut merupakan hak dan kewajiban dari pemberi kuasa.


Contoh dari perjanjian pemberian kuasa adalah seseorang (klien) yang memberikan kuasa kepada penasihat hukumnya untuk mewakili dan mengurus kepentingannya dalam beracara di Pengadilan.






------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Subekti, 1981,  Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 157-158.
[2] Djaja S. Meliala, 1982, Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata, Tarsito, Bandung, hlm. 1.
[3] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang kenotariatan, Citra Aditya bakti, Bandung, hlm. 54.
[4] Subekti, Op. cit, hlm. 141.
[5] Herlien Budiono, Op. cit, hlm. 273.

Pengecualian Asas Kepribadian (Berlakunya Perjanjian Terhadap Pihak Ketiga)



Sebagaimana telah dijelaskan pada postingan sebelumnya mengenai asas-asas hukum perjanjian, bahwa terdapat pengecualian terhadap asas kepribadian, maka hal tersebut akan dibahas dalam postingan ini. Asas Kepribadian diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang pada intinya menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Beberapa Pasal dalam KUHPerdata yang memungkinkan terikatnya pihak ketiga terhadap suatu perjanjian yang tidak dibuatnya penulis kutip dari buku yang ditulis oleh Herlien Budiono dengan judul Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,[1] diuraikan sebagai berikut:

a) Pasal 1300 butir 4 KUHPerdata
Pasal 1300 butir 4 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam hal pewarisan merupakan debitur dalam suatu perjanjian kredit, maka sekaligus dalam penetapan waris dapat diperjanjikan bahwa hanya seorang ahli waris yang akan menanggung utang pewaris atau seorang ahli waris akan menanggung utang pewaris dalam proporsi yang lebih besar dibanding ahli waris yang lain. Dengan cara itu, pewaris membebankan kepada pihak ketiga (salah seorang ahli waris) suatu kewajiban yang berada di luar perjanjian kredit.

b) Pasal 1614 KUHPerdata
Pasal 1614 KUHPerdata menyebutkan bahwa tukang batu, tukang kayu, tukang besi, dan lain-lain tukang yang telah dipakai untuk mendirikan gedung atau membuat suatu pekerjaan lain yang diborongkan, tidak mempunyai tuntutan terhadap orang untuk siapa pekerjaan itu telah dibuatnya, selain untuk sejumlah yang orang ini berutang kepada pemborong pada saat mereka memajukan tuntutannnya.

c) Pasal 1651 ayat (1) KUHPerdata
Pasal 1651 ayat (1) KUHPerdata memungkinkan untuk menjanjikan pada waktu pendirian persekutuan perdata (maatschap) jika seorang persero meninggal dunia, perseroan tersebut akan diteruskan oleh para ahli waris dari persero yang meninggal dunia tersebut.

d) Pasal 1803 ayat (3) KUHPerdata
Pasal 1803 ayat (3) KUHPerdata memberikan hak kepada pemberi kuasa untuk langsung menuntut orang yang ditunjuk oleh si kuasa sebagai penggantinya, yaitu untuk meminta pertanggungjawabannya sebagai kuasa. Penerima kuasa pengganti tersebut berada di luar pemberian kuasa yag dilakukan oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa.

Selain keempat Pasal yang telah disebutkan diatas, penulis akan membahas dua Pasal lagi yang beraitan erat dengan pengecualian asas kepribadian, yaitu Pasal 1317 KUHPerdata dan Pasal 1318 KUHPerdata yang penjelasannya adalah sebagai berikut:

a) Pasal 1317 KUHPerdata
Pasal 1317 KUHPerdata tediri dari dua ayat dan dikenal sebagai pasal yang memungkinkan dilaksanakannya janji guna kepentingan pihak ketiga (Derdenbeding). Pasal 1317 ayat (1) menyatakan bahwa lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Pasal 1317 ayat (2) menyatakan bahwa Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. Adalah tidak bertentangan dengan kepentingan umum ataupun kesusilaan apabila seseorang telah menjanjikan untuk memberikan suatu hak atau memberikan keuntungan kepada orang lain dan hak atau keuntungan itu baru mempunyai akibat hukum bagi penerima hak setelah ia menyatakan menerimanya.[2] Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1340 ayat (2) yang bunyinya "suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317".

Pihak yang memberikan janji guna kepentingan pihak ketiga disebut stipulator, sedangkan pihakyang berjanji untuk melakukan prestasi guna pihak ketiga disebut promissor atau promittens.[3] Contoh dari penerapan Pasal 1317 KUHPerdata adalah perjanjian asuransi, Misalnya: A mengadakan perjanianjian dengan Perusahaan Asuransi Kesehatan (B) untuk kepentingan anak dari A.

b) Pasal 1318 KUHPerdata
Pasal 1318 KUHPerdata bunyinya "Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu untuk ahli waris-ahliwarisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya". Berdasarkan Pasal a quo, maka muncul suatu pemikiran mengenai beralihnya hak dan kewajiban karena titel umum dan beralihnya hak dan kewajiban karena titel khusus.

Beralihnya hak dan kewajiban karena titel umum berkaitan dengan ahli waris. Para ahli waris meneruskan hak dan kewajiban pewaris yang diperolehnya berdasarkan hak waris dan bukan karena pewaris telah menjanjikan untuk para ahli warisnya.[4] Menurut penjelasan pembuat undang-undang BW, maksud dari pasal ini adalah untuk menegaskan bahwa perjanjian tersebut akan mempunyai sumber yang sama dan akan tetap sama peikatannya, seperti yang terdahulu sebelum beralih kepada ahli warisnya.[5]. 

Mengenai beralihnya hak dan kewajiban karena titel khusus lebih mudah dipahami dengan memberikan contoh sebagai berikut: A ingin menjual mobilnya dengan memberikan fasilitas gratis service di bengkelnya selama 5 tahun. B tertarik membeli mobil A dan akhinya dibuat perjanjian jual beli atas mobil tersebut antara A dan B. Baru 2 tahun dipakai, B berniat menjual mobilnya kepada C. C akhirnya membeli mobil tersebut dari B. Meskipun saat ini mobil sudah berpindah menjadi milik C, namun C masih berhak mendapatkan  service gratis di bengkel A selama 3 tahun. Berdasarkan contoh tersebut maka dapat dilihat bahwa tidak ada perjanjian antara A dan C, tetapi C masih bisa mendapatkan fasilitas service gratis di bengkel A. Hal ini juga berkaitan dengan sifat hak kebendaan yaitu droit de suite, sehingga dapat dipertahankan terhadap siapapun dan dimanapun benda tersebut berada. 







------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Herlien Budiono, 2014, Ajaran Hukum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 152-153.
[2] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 95.
[3] Ibid.
[4] Ibid hlm. 90.
[5] Ibid.

Asas-Asas Hukum Perjanjian



Bidang ilmu hukum mengenal adanya asas hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah suatu pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.[1] Dalam perjanjian juga mengenal asas-asas yang disebut sebagai asas-asas hukum perjanjian yang terdiri dari:

a) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal tersebut, kata-kata "semua perjanjian" inilah yang mencerminkan adanya asas kebebasan berkontrak itu. Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak manusia.[2]

Berlakunya asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari sistem terbuka dari Buku III KUHPerdata, dimana ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerdata hanya bersifat sebagai hukum pelengkap. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak meliputi hal-hal sebagai berikut:[3]

(1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa akan membuat suatu perjanjian;
(3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya;
(4) Kebebasan memilih objek perjanjian;
(5) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).

b) Asas Konsenualisme
Asas konsensualisme merupakan asas yang berkaitan dengan lahirnya perjanjian. Asas ini dapat disimpulkaan dari Pasal 1338 ayat (1) jo. Pasal 1320 butir (1) KUHPerdata yang maknanya bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.

Terdapat pengecualian terhadap asas konsensualisme, yaitu pada perjanjian formil dan riil. Perjanjian formil merupakan perjanjian yang membutuhkan formalitas tertenu, selain adanya kata sepakat. Contohnya adalah perjanjian perdamaian dan perjanjian kuasa pembebanan hak tanggungan. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi saat kata sepakat diiringi dengan suatu perbuatan tertentu, misalnya dalam perjanjian penitipan, sesuai dengan Pasal 1694 KUHPerdata, dimana penyerahan disambut dengan penerimaan antara para pihak.[4] 

c) Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas yang berkaitan dengan kepastian dan akibat hukum. Asas ini terermin dari kata-kata "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya", yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pihak lain (pihak ketiga) harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak layaknya undang-undang, pihak ketiga tidak boleh melakukan intervensi terhadap kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan juga menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian.

d) Asas Kepribadian
Asas kepribadian dengan berlakunya perjanjian. Asas kepribadian diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Pasal 1315 ini kemudian dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Para pihak mengadakan perundingan mengenai apa yang diharapkan dari masing-masing pihak dan bagi mereka yang tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut berada di luar perjanjian.[5] Seseorang tidak dapat mengikat orang lain dengan suatu perjanjian tanpa persetujuan orang tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakannya. Begitulah inti dari asas kepribadian.

Tidak ada suatu ketentuan tanpa kekecualian.[6] Ada beberapa ketentuan yang menyimpangi asas kepribadian. Ketentuan tersebut memungkinkan tersangkutnya pihak ketiga terhadap suatu perjanjian yang tidak dibuatnya, contohnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 dan Pasal 1318 KUHPerdata, namun mengenai penyimpangan ini akan dibahas lebih lanjut pada postingan selanjutnya.

e) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan asas yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang bunyinya "Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik". Itikad baik dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut, itikad baik merupakan suatu norma tidak tertulis yang wajib diikuti siapa saja.[7]

Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik subjektif adalah berupa kejujuran. Kejujuran ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat pembuatan perjanjian. Sementara itu, itikad baik objektif adalah berupa kepatuhan. Kepatuhan ini berhubungan erat dengan pelaksanaan perjanjian yang sesuai dengan apa yang telah disepakati. 






------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Sudikno mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 34.
[2] I Ketut Oka Setiawan, 2018, Hukum Perikatan, Sinat Grafika, Jakarta, hlm. 45.
[3] Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, hlm. 47.
[4] Sri Soesilowati Mahdi, et. al, 2005, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya Jakarta, Jakarta, hlm. 147.
[5] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 87.
[6] Ibid, hlm. 88.
[7] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 165.

Tuesday, 11 September 2018

Tinjauan Yuridis Organ dan Jaringan Tubuh Manusia Terhadap Hukum Benda Dan Perjanjian




Berbicara mengenai  organ dan jaringan yang melekat pada tubuh, menjadi suatu hal yang menarik ketika dikaitkan dengan hukum benda. Apakah  organ dan jaringan dapat dikategorikan sebagai benda sehingga dapat menjadi obyek perjanjian sebagaimana hal ini terjadi dalam peristiwa jual beli ginjal misalnya?  Hal ini yang akan penulis bahas pada postingan ini.

Pengertian benda dalam KUHPerdata dapat ditemukan dalam Pasal 499, yang menyatakan bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai dengan hak milik. Satu hal yang perlu dicatat dan diperhatikan disini adalah bahwa penguasaan dalam bentuk hak milik ini adalah penguasaan yang memiliki nilai ekonomis.[1] Berdasarkan hal tersebut, maka timbul pertanyaan apakah  organ dan jaringan memiliki nilai ekonomis? Untuk menjawab ini perlu merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Pasal 64 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa organ dan/atau jaringa tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. Terdapat sanksi pidana atas pelanggaran Pasal a quo yang diatur dalam Pasal 192 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja memperjualbelkan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milia rupiah). Larangan yang sama juga terdapat dalam Pasal 17 PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau jaringan Tubuh Manusia yang menyatakan bahwa dilarang memperjualbeilkan alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Dalam Penjelasan Pasal 17 PP a quo ditegaskan pula bahwa alat dan/atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, diketahui bahwa  organ dan jaringan tidak memiliki nilai ekonomis karena ada aturan yang melarang memperjualbelikan dan mengkomersialisasinya.

Organ dan jaringan tidak bisa dilepaskan dari pemikiran atau konsep hak atas tubuh. Sejak dari masa kelahiran hingga kematian, manusia sebagai individu secara otomatis memiliki hak atas tubuhnya secara absolut.[2] Berkaitan dengan hal ini, Sari Mandiana berpendapat bahwa walaupun memiliki hak penuh atas dirinya sendiri tidak berarti tubuhnya dapat diperlakukan seperti benda sebagaimana diatur dalam hukum benda.[3] Hal senada diungkapkan oleh Hwian Christianto, yang menyatakan bahwa hakikat tubuh manusia sangatlah berbeda dengan barang sehingga tidak dapat diberlakukan konsep hukum benda pada umumnya.[4] 

Di sisi lain, sedikit menyinggung dari segi hukum pidana, R. Soesilo[5] menjelaskan mengenai pengertian "suatu barang" yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP sebagai segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang termasuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan oleh kawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, termasuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya. Sesuai dengan penjelasan R. Soesilo tersebut, lebih lanjut Albert Aries menyatakan bahwa organ (ginjal) seseorang dapat dikategorikan sebagai suatu barang.[6]

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa organ dan jaringan yang melekat pada tubuh pada dasarnya merupakan benda, lebih tepatnya merupakan benda bergerak dan bertubuh, tetapi bukan merupakan benda dalam lalu lintas perdagangan (bukan benda yang dapat diperdagangkan). Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa organ dan jaringan tubuh manusia tidak dapat dijadikan objek perjanjian jual beli. Akan tetapi organ maupun jaringan tubuh merupakan suatu objek yang dapat diambil untuk kepentingan transplantasi (kepentingan kesehatan), selama dilakukan tanpa adanya unsur jual beli maupaun komersialisasi, hanya demi  perikemanusiaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU tentang Kesehatan dan PP tentang Bedah Mayat Klinis dan bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau jaringan Tubuh  Manusia. Artinya bahwa sangat dimungkinkan untuk melakukan perjanjian dengan objek organ maupun jaringan tubuh manusia selama tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk kepentingan kesehatan dan demi perikemanusiaan tanpa adanya unsur jual beli dan komersialisasi. Perjanjian dengan objek organ maupun jaringan tubuh manusia merupakan suatu perjanjian yang bersifat khusus dan berada dalam ranah hukum kesehatan. 







------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan Pada Umumnya, Kencana, Jakarta, hlm. 31-32.
[2] Hwian Christianto, "Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan", Mimbar Hukum, Vol.23 No.1, Februari 2011, hlm. 19.
[3] Sari Mandiana, 1990, Apek Medikolegal dalam Penerapan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahu 1981 (L.N.R.I. Tahun 1981 Nomor 23, Tambahan L.N.R.I. Nomor 3195) Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Atau Jaringan Tubuh Manusia: Suatu Studi Kasus Di Kotamadya Surabaya, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hl. 69-70.
[4] Hwian Christianto, Op. cit, hlm. 31.
[5] R. Soesilo, 1976, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm. 216.
[6] Albert Aries, "Hal-Hal Yang Dikategorikan Barang Menurut Hukum Pidana", http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt510e18862fa58/hal-hal-yang-dikategorikanbarang-menurut-hukum-pidana.

Monday, 10 September 2018

Penyalahgunaan Keadaan Dalam Pembuatan Perjanjian




Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) sengaja penulis pisahkan dari postingan sebelumnya yang berjudul Cacat Kehendak dalam Pembuatan Perjanjian, sebab peyalahgunaan keadaan tidak ditemukan dalam KUHPerdata. Ketentuan penyalahgunaan keadaan sebenarnya sudah dicantumkan di dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW), namun di Indonesia sendiri ketentuan ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, ajaran atau konsep mengenai penyalahgunaan keadaan sudah diterapkan oleh hakim dalam penyelesaian perkara di bidang hukum perjanjian di Indonesia. Dengan demikian, maka penyalahgunaan ada di dalam yurisprudensi.  

Menurut Purwahid Patrik, penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.[1] Sementara itu, Nieuwenhuis mengemukakan 4 syarat-sayarat adanya penyalahgunaan keadaan, sebagai berikut:[2]

a) Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras, dan tidak berpengalaman.

b) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid)
Disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian.

c) Penyalahgunaan (misbruik)
Salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu ataupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.

d) Hubungan kausal (causal verband)
Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup.

Lebih lanjut, Van Dunne membedakan penyalahgunaan keadaan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:[3]

a) Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis
Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis adalah sebagai berikut:

(1) Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain;
(2) Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.

b) Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan kejiwaan
Persyaratan-persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keadaan kearena keunggulan kejiwaan adalah sebagai berikut:

(1) Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, pendeta jemaat;
(2) Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik dan sebagainya.

Salah satu contoh kasus penyalahgunaan keadaan dapat dilihat dalam perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 3641/K/Pdt/2011. Inti dari perkara tersebut adalah pada waktu penggugat (pemoohon kasasi) berada di rutan Polda Metro Jaya (karena dipersangkakan melakukan tindak pidana korupsi, kejahatan perbankan, dan pemalsuan), datanglah seorang notaris (tergugat IV) menemui penggugat dan menyodorkan beberapa akta perjanjian yang harus ditandatangani oleh penggugat. Pengguat dijanjikan akan dibantu penangguhan penahanannya jika mau menandatangani akta-akta tersebut. Dalam keadaan tidak bebas ini, penggugat dengan terpaksa menandatangani akta-akta tersebut karena ada tekanan psikologis atau kejiwaan dalam diri penggugat. 
Hakim yang memutus perkara ini dalam pertimbangannya pada intinya menyatakan bahwa penandatanganan perjanjian terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan atau kesempatan sehingga penggugat dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Dalam putusan, hakim menyatakan perjanjian (akta-akta yang ditandatangani penggugat) batal.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa cacat kehendak selain tejadi karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan, juga terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini tidak diatur dalam KUHPerdata, namun ada dalam yurisprudensi. Akibat hukum dari adanya penyalahgunaan keadaan dalam pembentukan suatu perjanjian adalah perjanjian dapat dibatalkan.





------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 58.
[2] Niewenhuis, J.H., 1990, Hoofdstukken Nieuw Vermogensrecht, Derde Druk, Kluwer Deventer, hlm. 36.
[3] H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Bau) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda Dan Indonesia), Liberty, Yogyakarta, hlm. 51-42.




Cacat Kehendak Dalam Pembuatan Perjanjian





Perjanjian pada umumnya lahir dengan adanya kesepakatan para pihak (kecuali perjanjian formil yang membutuhkan suatu formalitas dalam bentuk tertulis). Selain melahirkan perjanjian, kesepakatan ini merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.  Kesepakatan ini menunjukkan adanya persesuaian kemauan atau kehendak para pihak yang membuat perjanjian. Sangat penting suatu persesuaian kemauan atau kehendak tersebut tercipta dengan dinyatakan secara tegas supaya tidak terjadi perselisihan diantara para pihak karena apa yang dinyatakan ternyata tidak secara tepat mengungkapkan kehendak.

Kesepakatan haruslah terjadi berdasarkan kebebasan kehendak. Hal ini sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu bahwa kesepakatan diberikan tanpa adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Dalam perkembangannya kebebasan kehendak ini selain tidak adanya ketiga hal tersebut, juga tidak ada penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). 

Tidak selalu dalam terjadinya suatu kesepakatan dilakukan dengan bebas (kebebasan kehendak), bisa saja kesepakatan terjadi karena adanya atau didalamnya terdapat keempat hal diatas yang menyebabkan para pihak tidak bebas dalam menyatakan kehendaknya atau dapat dikatakan telah terjadi cacat kehendak. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai cacat kehendak tersebut yang penulis batasi pada kekhilafan, paksaan, dan penipuan, sementara penyalahgunaan keadaan akan penulis bahas pada tulisan selanjutnya.

1) Kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 ayat (1) dan (2) KUHPerdata. Pasal 1322 ayat (1) menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Pasal 1322 ayat (2) menyatakan bahwa kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. 

Kekhilafan pada dasarnya merupakan suatu penggambaran yang keliru. Penggambaran yang keliru ini bisa mengenai objek perjanjian (mengenai barangnya) atau mengenai subjek perjanjian (mengenai orangnya). Jika kekeliruan itu mengenai orangnya, dinamakan error in persona, sedangkan jika kekeliruan itu mengenai hakikat barangnya, dinamakan error in substantia.    

Contoh dari kekhilafan adalah sebagai berikut: 
A ingin membeli pena bermerek Boltex. B merupakan penjual pena bermerek Bolteks. A kemudian menghubungi B untuk membeli pena yang dijual oleh B. A dan B kemudian mengadakan perjanjian jual beli. Sehari kemudian A menerima pena yang ia beli dari B dan ternyata tidak sesuai dengan yang dikehendaki A, karena yang ia harapkan adalah pena Boltex bukan Bolteks. Tidak ada niat sama sekali dari B untuk menipu A, namun karena objek perjanjian jika diucapkan terdengar sama, maka disini telah terjadi kekhilafan (lebih tepatnya keliru mengenai objek perjanjian atau error in substantia.

2) Paksaan (dwang)
Paksaan diatur dalam Pasal 1323 sampai Pasal 1327 KUHPerdata. Paksaan merupakan keadaan atau situasi dimana seseorang mlakukan kekerasan dalam menutup kontrak di bawah ancaman yang melanggar hukum, ancaman itu dapat menibulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.[1] Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu:[2]

a) Ancaman itu sendiri sudah merupakan suatu perbuatan melanggar hukum (pembunuhan, penganiayaan).
b) Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, melainkan ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai suatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.

Contoh dari paksaan adalah sebagai berikut:
A dengan terpaksa menandatangani perjanjian jual beli dengan B karena diancam akan dibunuh oleh B jika tidak melakukannya.

3) Penipuan (bedrog)
Penipuan diatur dalam Pasal 1328 ayat (1) dan (2) KUHPerdata. Pasal 1328 ayat (1) menyatakan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Sementara Pasal 1328 ayat (2) menyatakan bahwa penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut.[3] Sementara itu menurut Yahman, penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan.[4] Dikualifisir maksudnya adalah memang terdapat kesesatan satu pihak, namun kesesatan ini disengaja oleh pihak lain.[5]. Dengan demikian yang membedakan penipuan dengan kekhilafan adalah bahwa dalam penipuan seseorang sengaja dengan kehendak dan pengetahuan untuk menyesatkan orang lain, sedangkan dalam kekhilafan tidak demikian.

Contoh dari penipuan adalah sebagai berikut:
A menawarkan kepada B suatu barang dengan ciri-ciri XYZ. Dengan sangat meyakinkan A menawarkan barang tersebut dengan disertai gambar dan brosur yang menarik. B akhirnya tertarik dan akhirnya mengadakan perjanjian jual beli dengan A. Diperjanjikan di dalam perjanjian yang dibuat bahwa barang akan diterima oleh B keesokan harinya. Esok hari barang diterima oleh B dan ternyata tidak sesuai dengan yang ditawarkan dan diperjanjikan. Barang yang diterima tidak memiliki ciri-ciri XYZ tetapi ciri-cirinya XYA, dan memang sejak awal A tidak memiliki barang dengan ciri-ciri XYZ, A hanya memiliki barang dengan ciri-ciri XYA, akan tetapi agar barang tersebut laku maka ia dengan sengaja menawarkannya dengan menyebutkan bahwa barang yang ia jual memiliki ciri-ciri XYZ.  

Sering timbul pertanyaa bahwa terhadap suatu perjanjian yang tercipta karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog) apa akibat hukumnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka harus diperhatikan dan dikaitkan lagi dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata). Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu adanya kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu, dan causa yang halal. Cacat kehendak ini erat kaitannya dengan syarat kesepakatan para pihak (syarat pertama dalam syarat sahnya perjanjian), karena adanya cacat kehendak inilah yang menyebabkan suatu kesepakatan tidak terjadi dengan bebas. Dengan tidak adanya kebebasan dalam terjadinya kesepakatan ini, maka berimplikasi pada "tidak sahnya" kesepakatan atau dapat dikatakan juga bahwa kesepakatan tidak sempurna. Tidak terpenuhinya unsur kesepakatan yang juga merupakan syarat subjektif, maka berakibat hukum perjanjian dapat dibatalkan. 





------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Yahman, 2014, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Prenadamedia, Jakarta, hlm. 65.
[2] Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 150.
[3]Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hlm. 20.
[4] Yahman, Op.cit,, hlm. 66.
[5] Agus Yudho Hernoko, Loc. cit.



Wednesday, 28 March 2018

Hukum Perjanjian



Hai Guys, setelah lama tidak posting, akhirnya saya akan mulai membuat postingan lagi.
Baik, kali ini saya akan membahas secara sekilas mengenai Hukum Perjanjian.

Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya pasti memiliki berbagai kepentingan yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kepentingannya tersebut manusia akan berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan mengadakan suatu perjanjian. Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst yang berasal dari bahasa Belanda. 

Perjanjian berdasarkan sistem hukum Indonesia diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Perikatan. Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian a quo menimbulkan permasalahan karena dianggap terlalu luas dan tidak lengkap. Terlalu luas karena menggunakan kata "perbuatan", sehingga didalmnya bisa termasuk juga segala perbuatan yang tidak menimbulkan akibat hukum dan perbuatan melawan hukum. Adapun tidak lengkap karena penggunaan kata "satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih" artinya hanya mengenai perjanjian sepihak, padahal perjanjian tidak hanya mengenai perjanjian sepihak tetapi ada juga perjanjian timbal balik.

Atas kelemahan yang ada dalam pengertian Perjanjian menurut KUH Perdata ini, beberapa orang ahli mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian sebagai berikut: 
  1. Menurut Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
  2. menurut Abdulkadir Muhammad Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.
  3. Menurut Van Dune Perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.  
Selain itu, perjanjian dapat juga diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.[1] Berdasarkan pengertian-pengertian perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian timbul karena adanya kata sepakat atau persetujuan para pihak yang kemudian menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban) bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Membuat suatu perjanjian tidak terlepas dari syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut menjadi sah dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang mengadakannya. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut:
  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian)
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal
kedua syarat yang pertama disebut sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sementara kedua syarat yang terakhir disebut sebagai syarat objektif karena mengenai objek perjanjian.


  • Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya berarti bahwa perjanjian lahir dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak yang mengadakannya. Kata sepakat tersebut harus didasarkan pada kebebasan kehendak. Artinya jangan ada kekhilafan, pakasaan atau penipuan dalam pembuatan perjanjian. 
  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian) berarti bahwa para pihak haruslah merupakan orang atau pihak yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu mereka yang sudah dewasa dan tidak ditaruh dibawah pengampuan.
  • Suatu hal tertentu berarti bahwa suatu perjanjian haruslah mengenai suatu objek tertentu (dapat ditentukan).
  • Suatu sebab yang halal berarti bahwa dalam pembuatan suatu perjanjian tidak boleh melanggar Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Lebih lanjut, asas-asas perjanjian disebutkan sebagai berikut:
  1. Asas kebebasan berkontrak
  2. Asas Konsensualisme
  3. Asas Pacta Sun Servanda
  4. Asas Kepribadian
  5. Asas Itikad baik
Kelima asas diatas merupakan pedoman dalam pembuatan suatu perjanjian mulai dari fase prakontraktual hingga post kontraktual.

Permasalahan atau kekeliruan yang seringkali terjadi di dalam masyarakat: 

  1. Dalam kehidupan bermasyarakat seringkali melekat suatu paradigma bahwa suatu perjanjian haruslah tertulis agar perjanjian itu sah. Jika tidak ada "hitam diatas putih, maka perjanjian itu tidak sah". Hal tersebut tentu saja salah kaprah (tidak benar). Perjanjian adalah sah selama memenuhi syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) sebagaimana telah disebutkan di atas, meskipun perjanjian tersebut tidak tertulis (lisan). Hal ini berarti bahwa meskipun perjanjian hanya dibuat secara lisan, selama memnuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat. Namun demikian, ada perjanjian yang harus dibuat secara tertulis karena Undang-Undang memerintahkan demikian, misalnya perjanjian atas pemindahan hak atas saham yang dilakukan dengan akta pemindahan hak (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
  2. Bagaimana anak kecil (belum dewasa) yang melakukan perjanjian (transaksi) jual beli, misalnya jual beli roti dengan pedagang? Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu dipahami bahwa anak kecil tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu "kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian)". Hal ini berarti salah satu syarat subjektif dalam syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi sehingga perjanjian menjadi tidak sah. Perlu diperhatikan bahwa akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif adalah perjanjian dapat dibatalkan. Sementara jika yang tidak terpenuhi adalah syarat objektif, maka perjanjian batal demi hukum. Dengan demikian maka perjanjian yang dibuat anak kecil tersebut adalah tidak sah dan dapat dibatalkan. Artinya meskipun perjanjian tersebut tidak sah, selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak tersebut.
  3. Tidak ada materai perjanjian tidak Sah!!! Seringkali dalam suatu perjanjian yang dibuat tertulis dianggap tidak sah karena tidak tertera materai. Hal tersebut tentu salah. Kembali lagi bahwa syarat sahnya perjanjian adalah pasal 1320 KUH Perdata. Selama sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian adalah sah. Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa fungsinya materai?Mengapa harus pakai materai? Harus dipahami bahwa materai tidak termasuk dalam syarat sahnya perjanjian (titik). Adanya materai ini berfungsi sebagai bukti di pengadilan jika di kemudian hari terjadi sengketa atas perjanjian yang diadakan tersebut.


Sekian sedikit pengetahuan mengenai hukum perjanjian yang saya bagikan, memang tidak lengkap, oleh karena itu jika ada yang ingin ditanyakan seputar hukum perjanjian bisa anda tanyakan melalui kolom komentar di bawah. Terimakasih






------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Catatan materi perkuliahan hukum perikatan dan perjanjian milik penulis.