Dalam postingan kali ini, penulis membahas mengenai perjanjian pemberian kuasa. Perjanjian ini umum terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Penulis tidak akan membahas secara mendetail mengenai perjanjian ini, tetapi hanya sebatas pada pengertian dan unsur-unsurnya saja. Semoga apa yang penulis tulis dibawah ini bisa memberikan gambaran kepada pembaca mengenai perjanjian pemberian kuasa.
Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792-1819 KUHPerdata. Pengertian pemberian kuasa menurut Pasal 1792 adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Adapun yang dimaksud dengan menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan "suatu perbuatan hukum", yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau "menelorkan" suatu "akibat hukum".[1] Djaja S. Meliala menyatakan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan/perjanjian yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, disamping kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang telah maju (modern) sehingga tindakan memberi/menerima kuasa, perlu dilakukan untuk menyelesaikan salah satu atau beberapa masalah tertentu.[2] Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pemberian kuasa biasanya dilakukan untuk mengatasi kesibukan yang dihadapi seseorang sehingga ia tidak mampu menyelesaikan urusan-urusannya sendiri, oleh karena itu ia memerlukan jasa orang lain untuk menyelesaikan urusan-urusan itu.
Berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata dapat diketahui bahwa unsur-unsur pemberian kuasa adalah sebagai berikut:
a) Perjanjian
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa pemberian kuasa merupakan perjanjian. Dengan demikian, untuk pemberian kuasa pertama-tama harus dipenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian.[3] Hal ini penting untuk melihat apakah kita sedang berhadapan dengan sebuah perjanjian atau bukan. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian berdasarkan ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Oleh karena itu, lebih tepat jika perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan akibat hukum.
Sebagai suatu perjanjian, maka harus pula dipenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
(1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (perjanjian)
(3) Suatu hal tertentu
(4) Suatu sebab yang halal
b) Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa
Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa menunjukkan bahwa adanya dua pihak dalam perjanjian ini, yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa. Sebagai pihak dalam perjanjian, maka baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa memiliki kewajiban-kewajiban. Kewajiban-kewajiban pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 sampai Pasal 1812 KUHPerdata. Sementara kewajiban-kewajiban penerima kuasa diatur dalam Pasal 1800 sampai Pasal 1806 KUHPerdata.
c) Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan
Unsur ketiga ini maksudnya adalah bahwa penerima kuasa melakukan sesuatu perbuatan hukum demi kepentingan dan untuk atas nama pemberi kuasa. Adapun perbuatan hukum menurut Subekti yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau "menelorkan" suatu "akibat hukum".[5] Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa.[5] Ia hanya dapat melakukan tindakan hukum yang terbatas pada kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa. Segala tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa dalam rangka menyelenggarakan urusan yang diperintahkan oleh pemberi kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Dengan kata lain bahwa yang dilakukan penerima kuasa merupakan atas tanggungan pemberi kuasa sehingga segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya tersebut merupakan hak dan kewajiban dari pemberi kuasa.
Contoh dari perjanjian pemberian kuasa adalah seseorang (klien) yang memberikan kuasa kepada penasihat hukumnya untuk mewakili dan mengurus kepentingannya dalam beracara di Pengadilan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 157-158.
[2] Djaja S. Meliala, 1982, Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata, Tarsito, Bandung, hlm. 1.
[3] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang kenotariatan, Citra Aditya bakti, Bandung, hlm. 54.
[4] Subekti, Op. cit, hlm. 141.
[5] Herlien Budiono, Op. cit, hlm. 273.
No comments:
Post a Comment