Perjanjian pada umumnya lahir dengan adanya kesepakatan para pihak (kecuali perjanjian formil yang membutuhkan suatu formalitas dalam bentuk tertulis). Selain melahirkan perjanjian, kesepakatan ini merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kesepakatan ini menunjukkan adanya persesuaian kemauan atau kehendak para pihak yang membuat perjanjian. Sangat penting suatu persesuaian kemauan atau kehendak tersebut tercipta dengan dinyatakan secara tegas supaya tidak terjadi perselisihan diantara para pihak karena apa yang dinyatakan ternyata tidak secara tepat mengungkapkan kehendak.
Kesepakatan haruslah terjadi berdasarkan kebebasan kehendak. Hal ini sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu bahwa kesepakatan diberikan tanpa adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Dalam perkembangannya kebebasan kehendak ini selain tidak adanya ketiga hal tersebut, juga tidak ada penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Tidak selalu dalam terjadinya suatu kesepakatan dilakukan dengan bebas (kebebasan kehendak), bisa saja kesepakatan terjadi karena adanya atau didalamnya terdapat keempat hal diatas yang menyebabkan para pihak tidak bebas dalam menyatakan kehendaknya atau dapat dikatakan telah terjadi cacat kehendak. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai cacat kehendak tersebut yang penulis batasi pada kekhilafan, paksaan, dan penipuan, sementara penyalahgunaan keadaan akan penulis bahas pada tulisan selanjutnya.
1) Kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 ayat (1) dan (2) KUHPerdata. Pasal 1322 ayat (1) menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Pasal 1322 ayat (2) menyatakan bahwa kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Kekhilafan pada dasarnya merupakan suatu penggambaran yang keliru. Penggambaran yang keliru ini bisa mengenai objek perjanjian (mengenai barangnya) atau mengenai subjek perjanjian (mengenai orangnya). Jika kekeliruan itu mengenai orangnya, dinamakan error in persona, sedangkan jika kekeliruan itu mengenai hakikat barangnya, dinamakan error in substantia.
Contoh dari kekhilafan adalah sebagai berikut:
A ingin membeli pena bermerek Boltex. B merupakan penjual pena bermerek Bolteks. A kemudian menghubungi B untuk membeli pena yang dijual oleh B. A dan B kemudian mengadakan perjanjian jual beli. Sehari kemudian A menerima pena yang ia beli dari B dan ternyata tidak sesuai dengan yang dikehendaki A, karena yang ia harapkan adalah pena Boltex bukan Bolteks. Tidak ada niat sama sekali dari B untuk menipu A, namun karena objek perjanjian jika diucapkan terdengar sama, maka disini telah terjadi kekhilafan (lebih tepatnya keliru mengenai objek perjanjian atau error in substantia.
2) Paksaan (dwang)
Paksaan diatur dalam Pasal 1323 sampai Pasal 1327 KUHPerdata. Paksaan merupakan keadaan atau situasi dimana seseorang mlakukan kekerasan dalam menutup kontrak di bawah ancaman yang melanggar hukum, ancaman itu dapat menibulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.[1] Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu:[2]
a) Ancaman itu sendiri sudah merupakan suatu perbuatan melanggar hukum (pembunuhan, penganiayaan).
b) Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, melainkan ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai suatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.
Contoh dari paksaan adalah sebagai berikut:
A dengan terpaksa menandatangani perjanjian jual beli dengan B karena diancam akan dibunuh oleh B jika tidak melakukannya.
3) Penipuan (bedrog)
Penipuan diatur dalam Pasal 1328 ayat (1) dan (2) KUHPerdata. Pasal 1328 ayat (1) menyatakan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Sementara Pasal 1328 ayat (2) menyatakan bahwa penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut.[3] Sementara itu menurut Yahman, penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan.[4] Dikualifisir maksudnya adalah memang terdapat kesesatan satu pihak, namun kesesatan ini disengaja oleh pihak lain.[5]. Dengan demikian yang membedakan penipuan dengan kekhilafan adalah bahwa dalam penipuan seseorang sengaja dengan kehendak dan pengetahuan untuk menyesatkan orang lain, sedangkan dalam kekhilafan tidak demikian.
Contoh dari penipuan adalah sebagai berikut:
A menawarkan kepada B suatu barang dengan ciri-ciri XYZ. Dengan sangat meyakinkan A menawarkan barang tersebut dengan disertai gambar dan brosur yang menarik. B akhirnya tertarik dan akhirnya mengadakan perjanjian jual beli dengan A. Diperjanjikan di dalam perjanjian yang dibuat bahwa barang akan diterima oleh B keesokan harinya. Esok hari barang diterima oleh B dan ternyata tidak sesuai dengan yang ditawarkan dan diperjanjikan. Barang yang diterima tidak memiliki ciri-ciri XYZ tetapi ciri-cirinya XYA, dan memang sejak awal A tidak memiliki barang dengan ciri-ciri XYZ, A hanya memiliki barang dengan ciri-ciri XYA, akan tetapi agar barang tersebut laku maka ia dengan sengaja menawarkannya dengan menyebutkan bahwa barang yang ia jual memiliki ciri-ciri XYZ.
Sering timbul pertanyaa bahwa terhadap suatu perjanjian yang tercipta karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog) apa akibat hukumnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka harus diperhatikan dan dikaitkan lagi dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata). Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu adanya kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu, dan causa yang halal. Cacat kehendak ini erat kaitannya dengan syarat kesepakatan para pihak (syarat pertama dalam syarat sahnya perjanjian), karena adanya cacat kehendak inilah yang menyebabkan suatu kesepakatan tidak terjadi dengan bebas. Dengan tidak adanya kebebasan dalam terjadinya kesepakatan ini, maka berimplikasi pada "tidak sahnya" kesepakatan atau dapat dikatakan juga bahwa kesepakatan tidak sempurna. Tidak terpenuhinya unsur kesepakatan yang juga merupakan syarat subjektif, maka berakibat hukum perjanjian dapat dibatalkan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Yahman, 2014, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Prenadamedia, Jakarta, hlm. 65.
[2] Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 150.
[3]Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hlm. 20.
[4] Yahman, Op.cit,, hlm. 66.
[5] Agus Yudho Hernoko, Loc. cit.
[2] Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 150.
[3]Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hlm. 20.
[4] Yahman, Op.cit,, hlm. 66.
[5] Agus Yudho Hernoko, Loc. cit.
No comments:
Post a Comment