Wednesday 12 September 2018

Asas-Asas Hukum Perjanjian



Bidang ilmu hukum mengenal adanya asas hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah suatu pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.[1] Dalam perjanjian juga mengenal asas-asas yang disebut sebagai asas-asas hukum perjanjian yang terdiri dari:

a) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal tersebut, kata-kata "semua perjanjian" inilah yang mencerminkan adanya asas kebebasan berkontrak itu. Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak manusia.[2]

Berlakunya asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari sistem terbuka dari Buku III KUHPerdata, dimana ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerdata hanya bersifat sebagai hukum pelengkap. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak meliputi hal-hal sebagai berikut:[3]

(1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa akan membuat suatu perjanjian;
(3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya;
(4) Kebebasan memilih objek perjanjian;
(5) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).

b) Asas Konsenualisme
Asas konsensualisme merupakan asas yang berkaitan dengan lahirnya perjanjian. Asas ini dapat disimpulkaan dari Pasal 1338 ayat (1) jo. Pasal 1320 butir (1) KUHPerdata yang maknanya bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.

Terdapat pengecualian terhadap asas konsensualisme, yaitu pada perjanjian formil dan riil. Perjanjian formil merupakan perjanjian yang membutuhkan formalitas tertenu, selain adanya kata sepakat. Contohnya adalah perjanjian perdamaian dan perjanjian kuasa pembebanan hak tanggungan. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi saat kata sepakat diiringi dengan suatu perbuatan tertentu, misalnya dalam perjanjian penitipan, sesuai dengan Pasal 1694 KUHPerdata, dimana penyerahan disambut dengan penerimaan antara para pihak.[4] 

c) Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas yang berkaitan dengan kepastian dan akibat hukum. Asas ini terermin dari kata-kata "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya", yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pihak lain (pihak ketiga) harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak layaknya undang-undang, pihak ketiga tidak boleh melakukan intervensi terhadap kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan juga menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian.

d) Asas Kepribadian
Asas kepribadian dengan berlakunya perjanjian. Asas kepribadian diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Pasal 1315 ini kemudian dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Para pihak mengadakan perundingan mengenai apa yang diharapkan dari masing-masing pihak dan bagi mereka yang tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut berada di luar perjanjian.[5] Seseorang tidak dapat mengikat orang lain dengan suatu perjanjian tanpa persetujuan orang tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakannya. Begitulah inti dari asas kepribadian.

Tidak ada suatu ketentuan tanpa kekecualian.[6] Ada beberapa ketentuan yang menyimpangi asas kepribadian. Ketentuan tersebut memungkinkan tersangkutnya pihak ketiga terhadap suatu perjanjian yang tidak dibuatnya, contohnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 dan Pasal 1318 KUHPerdata, namun mengenai penyimpangan ini akan dibahas lebih lanjut pada postingan selanjutnya.

e) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan asas yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang bunyinya "Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik". Itikad baik dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut, itikad baik merupakan suatu norma tidak tertulis yang wajib diikuti siapa saja.[7]

Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik subjektif adalah berupa kejujuran. Kejujuran ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat pembuatan perjanjian. Sementara itu, itikad baik objektif adalah berupa kepatuhan. Kepatuhan ini berhubungan erat dengan pelaksanaan perjanjian yang sesuai dengan apa yang telah disepakati. 






------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Sudikno mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 34.
[2] I Ketut Oka Setiawan, 2018, Hukum Perikatan, Sinat Grafika, Jakarta, hlm. 45.
[3] Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, hlm. 47.
[4] Sri Soesilowati Mahdi, et. al, 2005, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya Jakarta, Jakarta, hlm. 147.
[5] Herlien Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 87.
[6] Ibid, hlm. 88.
[7] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 165.

No comments:

Post a Comment