Tuesday 11 September 2018

Tinjauan Yuridis Organ dan Jaringan Tubuh Manusia Terhadap Hukum Benda Dan Perjanjian




Berbicara mengenai  organ dan jaringan yang melekat pada tubuh, menjadi suatu hal yang menarik ketika dikaitkan dengan hukum benda. Apakah  organ dan jaringan dapat dikategorikan sebagai benda sehingga dapat menjadi obyek perjanjian sebagaimana hal ini terjadi dalam peristiwa jual beli ginjal misalnya?  Hal ini yang akan penulis bahas pada postingan ini.

Pengertian benda dalam KUHPerdata dapat ditemukan dalam Pasal 499, yang menyatakan bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai dengan hak milik. Satu hal yang perlu dicatat dan diperhatikan disini adalah bahwa penguasaan dalam bentuk hak milik ini adalah penguasaan yang memiliki nilai ekonomis.[1] Berdasarkan hal tersebut, maka timbul pertanyaan apakah  organ dan jaringan memiliki nilai ekonomis? Untuk menjawab ini perlu merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Pasal 64 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa organ dan/atau jaringa tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. Terdapat sanksi pidana atas pelanggaran Pasal a quo yang diatur dalam Pasal 192 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja memperjualbelkan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milia rupiah). Larangan yang sama juga terdapat dalam Pasal 17 PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau jaringan Tubuh Manusia yang menyatakan bahwa dilarang memperjualbeilkan alat dan/atau jaringan tubuh manusia. Dalam Penjelasan Pasal 17 PP a quo ditegaskan pula bahwa alat dan/atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, diketahui bahwa  organ dan jaringan tidak memiliki nilai ekonomis karena ada aturan yang melarang memperjualbelikan dan mengkomersialisasinya.

Organ dan jaringan tidak bisa dilepaskan dari pemikiran atau konsep hak atas tubuh. Sejak dari masa kelahiran hingga kematian, manusia sebagai individu secara otomatis memiliki hak atas tubuhnya secara absolut.[2] Berkaitan dengan hal ini, Sari Mandiana berpendapat bahwa walaupun memiliki hak penuh atas dirinya sendiri tidak berarti tubuhnya dapat diperlakukan seperti benda sebagaimana diatur dalam hukum benda.[3] Hal senada diungkapkan oleh Hwian Christianto, yang menyatakan bahwa hakikat tubuh manusia sangatlah berbeda dengan barang sehingga tidak dapat diberlakukan konsep hukum benda pada umumnya.[4] 

Di sisi lain, sedikit menyinggung dari segi hukum pidana, R. Soesilo[5] menjelaskan mengenai pengertian "suatu barang" yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP sebagai segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang termasuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan oleh kawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, termasuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya. Sesuai dengan penjelasan R. Soesilo tersebut, lebih lanjut Albert Aries menyatakan bahwa organ (ginjal) seseorang dapat dikategorikan sebagai suatu barang.[6]

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa organ dan jaringan yang melekat pada tubuh pada dasarnya merupakan benda, lebih tepatnya merupakan benda bergerak dan bertubuh, tetapi bukan merupakan benda dalam lalu lintas perdagangan (bukan benda yang dapat diperdagangkan). Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa organ dan jaringan tubuh manusia tidak dapat dijadikan objek perjanjian jual beli. Akan tetapi organ maupun jaringan tubuh merupakan suatu objek yang dapat diambil untuk kepentingan transplantasi (kepentingan kesehatan), selama dilakukan tanpa adanya unsur jual beli maupaun komersialisasi, hanya demi  perikemanusiaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU tentang Kesehatan dan PP tentang Bedah Mayat Klinis dan bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau jaringan Tubuh  Manusia. Artinya bahwa sangat dimungkinkan untuk melakukan perjanjian dengan objek organ maupun jaringan tubuh manusia selama tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk kepentingan kesehatan dan demi perikemanusiaan tanpa adanya unsur jual beli dan komersialisasi. Perjanjian dengan objek organ maupun jaringan tubuh manusia merupakan suatu perjanjian yang bersifat khusus dan berada dalam ranah hukum kesehatan. 







------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan Pada Umumnya, Kencana, Jakarta, hlm. 31-32.
[2] Hwian Christianto, "Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan", Mimbar Hukum, Vol.23 No.1, Februari 2011, hlm. 19.
[3] Sari Mandiana, 1990, Apek Medikolegal dalam Penerapan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahu 1981 (L.N.R.I. Tahun 1981 Nomor 23, Tambahan L.N.R.I. Nomor 3195) Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Atau Jaringan Tubuh Manusia: Suatu Studi Kasus Di Kotamadya Surabaya, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hl. 69-70.
[4] Hwian Christianto, Op. cit, hlm. 31.
[5] R. Soesilo, 1976, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm. 216.
[6] Albert Aries, "Hal-Hal Yang Dikategorikan Barang Menurut Hukum Pidana", http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt510e18862fa58/hal-hal-yang-dikategorikanbarang-menurut-hukum-pidana.

No comments:

Post a Comment